Sunday, 9 December 2012

(Writing Challenge) Klimaks Novel (Coming Home)


Hujan deras masih mengguyur kota Jakarta. Stasiun kereta terlihat lebih padat. Pemandangan itu semakin membuat kepala Amira berdenyut. Langkah kakinya hampir goyah.

Setelah melewati kerumunan orang akhirnya bisa keluar dari stasiun. Dengan sebuah taksi dia bergegas meninggalkan keramaian. Bergegas menggapai mimpi masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang.

Menerobos jalanan ibu kota. Memasuki jalan-jalan penuh kenangan. Hiruk pikuk jalan terus membangkitkan memori. Semakin lama ingatan-ingatan itu membuat Amira gugup. Keraguan hinggap. Apakah mungkin?

Semakin jauh dari kepadatan lalu lintas, semakin cepat jantungnya berdebar. Amira semakin dekat dengan masa depannya.

Amira sibuk dengan pikirannya tanpa sadar taksi sudah berhenti di depan rumah yang sangat dia kenal. Rumah yang menurutnya terlalu berlebihan. Rumah besar dua lantai dan halaman luas. Tapi rumah ini tempat dia meninggalkan sebagian jiwanya. Tempat yang terus mempertahankan cintanya.

Kini dia berdiri mematung di depan pagar rumah. Memandangi bangunan besar di depannya itu. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam. Setitik air turun menelusuri pipinya. Sedetik kemudian pipinya dibanjiri airmata.

Setelah lama berdiam diri, Amira merogoh kantong kecil di bagian belakang tasnya. Mengambil kunci yang tidak pernah dia kembalikan pada Rayhan. Saat hendak memasukkan kunci pada gembok pagar, matanya terpaku pada sebuah papan. Kunci yang dipegangnya jatuh.

RUMAH INI DIJUAL!

Air mata kembali membanjiri wajah mungilnya. Kali ini bukan airmata kerinduan. Tapi kekecewaan. Hatinya dicabik-cabik. Oleh kata-kata di papan dan oleh harapannya. Harapan itu seketika retak dan tinggal menunggu sedikit sentuhan untuk hancur.

Dengan menguatkan hatinya, dia masuk melewati gerbang. Taman di samping kiri-kanan terlihat tidak terurus. Rumputnya telah tumbuh liar. Pohon-pohon tak lagi dirawat.

Berbeda dengan keadaan di luar. Ruang depan terlihat kosong. Perabotannya tak ada lagi. Rayhan benar-benar ingin menjual rumah ini. Dia mau melupakan aku. Dia mau melepas semua kenangan kami. Kamu tega, Ray.

Amira menelusuri ruangan-ruangan lain. Tidak semuanya telah kosong. Satu per satu potongan gambar kenangan mulai muncul.

Rayhan sedang mengelus rambut Amira yang sedang membaringkan kepala di pangkuannya. Mereka sedang menikmati film yang dipinjam Amira sepulang les. Sudah menjadi kebiasaan mereka setiap hari jumat menonton film setelah makan malam di luar. Bahagia. Itu yang Amira rasakan.

Rayhan tiba-tiba mengagetkan Amira dengan pelukannya dari belakang. Amira sedang menyiapkan sarapan. Dia meninggalkan Rayhan yang masih tertidur pulas. Hari minggu kesempatan baginya untuk bisa tidur sepuasnya. Rayhan membisikkan sesuatu membuat Amira tersenyum. Bahagia.

Aku juga akan selalu mencintai kamu, Ray.

Amira tak bisa bangun dari tempat tidur. Rayhan melingkarkan tangannya dengan erat dipinggang wanita yang sudah sebulan dinikahinya.

“Ray, kamu harus ke kantor”

“Aku nggak masuk hari ini. Seharian aku mau sama kamu. Di sini.” Rayhan mengecup pundak Amira, lengannya, dan kemudian tanggannya. Rayhan membalik badan Amira sehingga mereka berhadapan. Seharian mereka habiskan waktu di tempat tidur. Amira sangat bahagia.

Rayhan hanya berdiri di depan jendela. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Amira sudah mengetahui semuanya.

“Aku mencintainya Mir.”

Rayhan melihat istrinya meringkuk di samping ranjang. Dia sangat ingin menyentuh dan menenangkan istrinya. Meminta maaf. Tapi Amira menolak. Kejujuran memang menyakitkan. Tapi itu harus dilakukan. Hidup penuh dengan pilihan. Dan kali ini dia memilih bersama Elsa dan anak yang akan segera hadir. Kebahagiaan yang selama ini Rayhan sajikan tak lagi terasa bagi Amira.

Kamar ini tempat dia mengukir cinta dengan Rayhan. Tapi kamar ini juga tempat Rayhan menghancurkan semuanya.

Entah sudah berapa lama dia berada di rumah itu. Tubuhnya merasa lelah telah menyusuri seluruh rumah. Memutar kembali memori di rumah itu.

Kini Amira duduk di tepian kolam renang. Rayhan sengaja membuatkan kolam renang karena Amira senang berenang. Seluruh kakinya dicelupkan ke dalam kolam. Dia memainkan air dengan tangan.

Tanpa disadari Amira sepasang mata sedang mengawasinya. Sepasang mata itu menggambarkan kerinduan. Kerinduan yang sama ada pada mata Amira ketika dia berada di depan rumah.

Ragu-ragu pemilik mata itu mendekat. Tapi masih ragu untuk mengganggu Amira yang sepertinya sedang melamun. Ingin sekali dia segera memeluk pundak itu. Mencium rambut dengan aroma sampo yang menyegarkan.

“Bu guru!” Kirana muncul dari belakang Rayhan. Anak kecil itu tadinya tidak mau masuk. Kirana baru kali ini datang ke rumah itu.

Amira membalikkan badan begitu mendengar suara yang sangat dikenal dan dirindukannya. Tanpa pikir panjang dia mengeluarkan kedua kakinya dari kolam dan berdiri. Setengah berlari menghampiri Kirana. Anakku.

Kirana berada dalam pelukkan Amira. Mir, rumah ini semakin lengkap.

Rayhan menghampiri kedua wanita yang sangat dicintainya itu. Mengacak-acak rambut Kirana. Anak kecil itu melepaskan pelukannya. Dia seakan memberi ruang untuk Papanya. Rayhan berjongkok tidak langsung bergabung dengan pelukan itu. Dia menatap Amira.

“Kamu mau pulangkan Mir?” Dia menyentuh pipi Amira dengan lembut. Perempuan itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Airmata terus keluar. Tak lama dia mengangguk.

Rayhan kini bergabung dengan pelukan Kirana dan Amira.

Aku akan pulang Ray dan tidak akan pernah pergi lagi. Walau apapun yang terjadi.

No comments:

Post a Comment