Hujan
deras masih mengguyur kota Jakarta. Stasiun kereta terlihat lebih padat.
Pemandangan itu semakin membuat kepala Amira berdenyut. Langkah kakinya hampir
goyah.
Setelah
melewati kerumunan orang akhirnya bisa keluar dari stasiun. Dengan sebuah taksi
dia bergegas meninggalkan keramaian. Bergegas menggapai mimpi masa lalu, kini,
dan mungkin yang akan datang.
Menerobos
jalanan ibu kota. Memasuki jalan-jalan penuh kenangan. Hiruk pikuk jalan terus
membangkitkan memori. Semakin lama ingatan-ingatan itu membuat Amira gugup.
Keraguan hinggap. Apakah mungkin?
Semakin
jauh dari kepadatan lalu lintas, semakin cepat jantungnya berdebar. Amira
semakin dekat dengan masa depannya.
Amira
sibuk dengan pikirannya tanpa sadar taksi sudah berhenti di depan rumah yang
sangat dia kenal. Rumah yang menurutnya terlalu berlebihan. Rumah besar dua
lantai dan halaman luas. Tapi rumah ini tempat dia meninggalkan sebagian
jiwanya. Tempat yang terus mempertahankan cintanya.
Kini
dia berdiri mematung di depan pagar rumah. Memandangi bangunan besar di
depannya itu. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam. Setitik air turun
menelusuri pipinya. Sedetik kemudian pipinya dibanjiri airmata.
Setelah
lama berdiam diri, Amira merogoh kantong kecil di bagian belakang tasnya.
Mengambil kunci yang tidak pernah dia kembalikan pada Rayhan. Saat hendak
memasukkan kunci pada gembok pagar, matanya terpaku pada sebuah papan. Kunci
yang dipegangnya jatuh.
RUMAH
INI DIJUAL!
Air
mata kembali membanjiri wajah mungilnya. Kali ini bukan airmata kerinduan. Tapi
kekecewaan. Hatinya dicabik-cabik. Oleh kata-kata di papan dan oleh harapannya.
Harapan itu seketika retak dan tinggal menunggu sedikit sentuhan untuk hancur.
Dengan
menguatkan hatinya, dia masuk melewati gerbang. Taman di samping kiri-kanan
terlihat tidak terurus. Rumputnya telah tumbuh liar. Pohon-pohon tak lagi
dirawat.
Berbeda
dengan keadaan di luar. Ruang depan terlihat kosong. Perabotannya tak ada lagi.
Rayhan benar-benar ingin menjual rumah
ini. Dia mau melupakan aku. Dia mau melepas semua kenangan kami. Kamu tega,
Ray.
Amira
menelusuri ruangan-ruangan lain. Tidak semuanya telah kosong. Satu per satu
potongan gambar kenangan mulai muncul.
Rayhan
sedang mengelus rambut Amira yang sedang membaringkan kepala di pangkuannya.
Mereka sedang menikmati film yang dipinjam Amira sepulang les. Sudah menjadi
kebiasaan mereka setiap hari jumat menonton film setelah makan malam di luar.
Bahagia. Itu yang Amira rasakan.
Rayhan
tiba-tiba mengagetkan Amira dengan pelukannya dari belakang. Amira sedang
menyiapkan sarapan. Dia meninggalkan Rayhan yang masih tertidur pulas. Hari
minggu kesempatan baginya untuk bisa tidur sepuasnya. Rayhan membisikkan
sesuatu membuat Amira tersenyum. Bahagia.
Aku juga akan selalu mencintai
kamu, Ray.
Amira
tak bisa bangun dari tempat tidur. Rayhan melingkarkan tangannya dengan erat
dipinggang wanita yang sudah sebulan dinikahinya.
“Ray, kamu harus ke kantor”
“Aku nggak masuk hari ini. Seharian aku
mau sama kamu. Di sini.” Rayhan mengecup pundak Amira, lengannya, dan
kemudian tanggannya. Rayhan membalik badan Amira sehingga mereka berhadapan. Seharian
mereka habiskan waktu di tempat tidur. Amira sangat bahagia.
Rayhan
hanya berdiri di depan jendela. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Amira sudah
mengetahui semuanya.
“Aku mencintainya
Mir.”
Rayhan melihat istrinya meringkuk di samping ranjang. Dia sangat
ingin menyentuh dan menenangkan istrinya. Meminta maaf. Tapi Amira menolak.
Kejujuran memang menyakitkan. Tapi itu harus dilakukan. Hidup penuh dengan
pilihan. Dan kali ini dia memilih bersama Elsa dan anak yang akan segera hadir.
Kebahagiaan yang selama ini Rayhan sajikan tak lagi terasa bagi Amira.
Kamar
ini tempat dia mengukir cinta dengan Rayhan. Tapi kamar ini juga tempat Rayhan
menghancurkan semuanya.
Entah
sudah berapa lama dia berada di rumah itu. Tubuhnya merasa lelah telah
menyusuri seluruh rumah. Memutar kembali memori di rumah itu.
Kini
Amira duduk di tepian kolam renang. Rayhan sengaja membuatkan kolam renang
karena Amira senang berenang. Seluruh kakinya dicelupkan ke dalam kolam. Dia
memainkan air dengan tangan.
Tanpa
disadari Amira sepasang mata sedang mengawasinya. Sepasang mata itu
menggambarkan kerinduan. Kerinduan yang sama ada pada mata Amira ketika dia
berada di depan rumah.
Ragu-ragu
pemilik mata itu mendekat. Tapi masih ragu untuk mengganggu Amira yang
sepertinya sedang melamun. Ingin sekali dia segera memeluk pundak itu. Mencium
rambut dengan aroma sampo yang menyegarkan.
“Bu
guru!” Kirana muncul dari belakang Rayhan. Anak kecil itu tadinya tidak mau
masuk. Kirana baru kali ini datang ke rumah itu.
Amira
membalikkan badan begitu mendengar suara yang sangat dikenal dan dirindukannya.
Tanpa pikir panjang dia mengeluarkan kedua kakinya dari kolam dan berdiri.
Setengah berlari menghampiri Kirana. Anakku.
Kirana
berada dalam pelukkan Amira. Mir, rumah
ini semakin lengkap.
Rayhan
menghampiri kedua wanita yang sangat dicintainya itu. Mengacak-acak rambut
Kirana. Anak kecil itu melepaskan pelukannya. Dia seakan memberi ruang untuk
Papanya. Rayhan berjongkok tidak langsung bergabung dengan pelukan itu. Dia
menatap Amira.
“Kamu
mau pulangkan Mir?” Dia menyentuh pipi Amira dengan lembut. Perempuan itu tidak
mengucapkan sepatah katapun. Airmata terus keluar. Tak lama dia mengangguk.
Rayhan
kini bergabung dengan pelukan Kirana dan Amira.
Aku akan pulang Ray dan tidak akan
pernah pergi lagi. Walau apapun yang terjadi.
No comments:
Post a Comment